Senin, 11 Februari 2013

Da’I Sintetik

Oleh: Uman Miftah Sajidin, S.E. 

Tercatat 22.179 karyawan bekerja di Bank Umum Syariah per Juni 2012. Melonjak 400,1% sejak 2007. Sedangkan ada 2.575 karyawan lain yang bekerja di Unit Usaha Syariah. Meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya (kontan.co.id). Luar biasa. Perbankan syariah yang gaungnya mulai terdengar malu-malu dua puluh tiga tahun silam berkembang cukup pesat. Meskipun dari segi market share baru menyumbang 4,3%. 

Namun tak mengapa. Minimal geliat kuantitas karyawannya tumbuh menjanjikan. Sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan adalah aset yang tak ternilai. Jika dikelola dengan baik akan membuahkan hasil optimal. Benar. Dengan kata lain berarti ada 24.754 orang yang kesehariannya bersentuhan langsung dengan sistem ekonomi islam dalam konteks perbankan. Tentunya belum ditambah dengan jumlah karyawan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah), BMT (Baitul Mal Watamwil), dan yang bekerja di lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah. Dari segi kuantitas memang bukan jumlah yang sedikit. 

Dalam teori organisasi, setiap karyawan (ideal) mampu menginisiasi nilai-nilai organisasi dimana tempatnya bekerja. Mereka yang berkomitmen tinggi terhadap perusahaan adalah yang berhasil “menyerap ruh” organisasi tersebut. Jika tempat bekerjanya adalah sebuah lembaga syariah, maka, seharusnya, berkepedulian tinggi terhadap pemberantasan riba. Jelas dalam praktiknya tentu belum seideal ini. Tak semua karyawan bank syariah memliki kepedulian terhadap riba. Ada yang bekerja karena kebetulan, diajak rekan, atau beranggapan “daripada nganggur”. 

Argumen ini diamini oleh sekretaris jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Achmad K. Permana. Beliau menyatakan bahwa saat ini karyawan bank syariah masih sangat minim kualitas. Penyebabnya beragam. Dari mulai miskinnya pengetahuan tentang akad-akad syariah hingga keterampilan bagaimana bekerja secara profesional-organisatoris. Bukan Karyawan Robotik Gareth Morgan, dalam bukunya yang cukup terkenal, “Images of Organization”, menuturkan bahwa sebuah organisasi (baca: perusahaan) tak bisa dipandang dari satu sisi. Seorang leader yang efektif akan memposisikan organisasi dari berbagai macam sudut pandang. Ia memotret organisasi dari tujuh sisi. 

Organisasi sebagai mesin, organisasi sebagai otak, organisasi sebagai budaya, organisasi sebagai sistem politik, organisasi sebagai penjara, organisasi sebagai aliran darah, dan organisasi sebagai alat kekuasaan. Dalam konsep organisasi sebagai mesin, Morgan menyatakan, sebuah organisasi adalah sekumpulan sistem yang birokratis. Atasan harus membuat aturan yang tegas untuk bawahan, dan bawahan wajib mentaati perintah atasan. Ada tanda yang tegas untuk memisahkan mana garis koordinatif dan mana garis instruktif. Karyawan adalah sekumpulan instrumen yang bisa digunakan atasan semaunya. Sangat kaku. 

Apa yang diperintahkan atasan maka itulah yang harus dikerjakan bawahan. Dalam praktiknya, banyak perbankan syariah yang mengganti istilah “Sumber Daya Manusia” menjadi “Sumber Daya Insani”. Ini lantaran dalam islam seorang karyawan bukanlah robot. Perusahaan yang dipimpin bukanlah sebuah mesin seperti yang dikatakan dalam salah satu sudut pandang Morgan. Atasan bukanlah dewa segalanya, dan bawahan pun tak layak disebut budak yang wajib mengikuti atasan. Bahkan jika atasan salah maka karyawan wajib mengingatkan. Karena dalam konsep islam yang dinilai bukanlah tinggi rendahnya jabatan. 

Melainkan sejauh mana kebermanfaatannya untuk umat. Bawahan menghormati atasan pun semata bukan karena atasan lebih mulia dari dirinya. Bukan. Bawahan menghormati atasan karena berniat menghormati sesama manusia. Begitu pun dalam halnya kerja secara profesional. Dalam konsep islam, profesionalitas adalah sebuah sunatullah yang sudah selayaknya ada. Orang yang masuk islam secara paripurna sudah pasti setiap detiknya berarti. Dan produktif. Ini yang disebut sebagai Ihsan. Ia adalah orang yang muhsin. 

Tak hanya mengaku sebagai orang islam (muslim). Muslim, Mukmin, Muhsin, Mukhlis, dan Muttaqiin. Tak mungkin mengaku shaleh jika kinerjanya berantakan. Jika ada yang demikian maka branding nya sebagai orang yang masuk islam secara kafahdiragukan. Mengapa? Karena ihsan adalah suatu sikap dimana merasa setiap gerak-geriknya diawasi oleh Allah swt. Sehingga seharusnya konsep ihsan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan konsep profesional. Artinya, karyawan Bank Syariah sudah selayaknya bekerja secara professional. Ini lantaran profesional hanyalah efek samping dari ihsan. Seorang muslim yang baik pun harus bermanfaat untuk umat. Khairunas anfauhum linas. 

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dan spektrum kebermanfaatan ini sangat luas. Termasuk diantaranya adalah mengajak kebaikan. Atau disebut istilah “dakwah”. Ud’u ilaa sabiili rabbika bilhikmah.., serulah (manusia) kepada jalan allah dengan cara-cara yang terbaik. Ini sudah dicontohkan oleh rasulullaah dan para sahabat. Abu Dzar ra misalnya. 

Beberapa saat setelah beliau bertemu dengan rasulullah untuk menyatakan keislamannya saat itu diantar oleh Ali bin abi Thalib- beliau langsung mengumumkan dan mengajak penduduk makkah untuk masuk ke dalam islam (berdakwah). Bahkan setiap ada ayat yang beliau ketahui langsung segera disebarkan kepada kerabatnya yang lain. Hingga akhirnya suku Ghifari berhasil masuk islam. Pertanyaannya, apakah beliau menunggu shaleh terlebih dahulu lalu berdakwah? Yang penulis pahami tidak. Bahkan dengan gigih beliau terus menerus berdakwah. Begitu pun para sahabat yang lain. Sekecil apa pun yang didapatkan dari rasulullaah maka itulah yang akan diajarkan kepada yang mereka kenal. Bahkan rasul pun bersabda dalam salah satu haditsnya,
:Balighu annii walau aayat... 

Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat. Inilah seharusnya jiwa yang dimiliki karyawan bank syariah. Selain profesional, ia menyampaikan apa yang diketahuinya tentang islam kepada yang lain. Tentunya dari mulai hal terkecil. Jika baru tahu ilmu tentang shalat, maka sampaikanlah ilmu shalat. Jika baru tahu tentang sedekah, maka sampaikanlah tentang sedekah. Begitu pun tentang hubungan sosial. Misal tahu tentang mana akad yang boleh dan mana yang tidak, maka sampaikanlah tentang itu. 

Andai saja dalam satu tahun 24.754 karyawan mengajak satu orang saja tetangganya berbuat baik, maka di tahun yang sama akan ada 24.754 orang baik yang baru. Di tahun berikutnya akan bertambah menjadi 49.508 orang baik lainnya. Jika ini terjadi maka negeri ini akan dengan mudah menjadi negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur. Negara subur makmur, adil, dan aman. 

Kalijaga 

Dakwah harus dilakukan dengan arif bijaksana. Adalah kurang tepat jika mengubah suatu masyarakat secara hitam putih. Jika salah, maka salah. Jika benar, maka benar. 

Mengingat rasulullaah pun ketika berdakwah menggunakan metode yang efektif dan tanpa menyakiti. Saat Fathul Makkah, misalnya. Meskipun beliau memiliki pasukan yang sangat kuat namun tak setetes pun darah mengalir. Atau ketika diawal berdakwah. Beliau tak lantas mengatakan bahwa ini halal dan yang itu haram. Sejak masih belia, beliau sudah mempunyai positioning yang baik di Makkah. Yakni dengan mendapatkan gelar sebagai orang yang paling kredibel. Al Amin. 

Dalam berbisnis pun beliau senantiasa mendapatkan banyak keuntungan. Ini awal yang baik untuk “menyatukan diri” dengan kultur setempat. Juga dalam peletakan nilai-nilai islam. Beliau pun mulai meletakkan dasar-dasar keislaman (Aqidah) selama tiga belas tahun di Makkah. Sementara ketika aqidah umat telah baik maka beliau mendakwahkan aspek islam yang lain dalam waktu yang lebih singkat. Ini artinya mendakwahkan islam tak sembarangan. Agar efektif, ada metode tertentu yang harus dijadikan pakem. 

Beliau pernah bersabda, “sampaikanlah dengan bahasa kaumnya”. Seorang da’I harus memahami kultur setempat dalam menyampaikan kebenaran. Dalam konteks Indonesia, khususnya Pulau Jawa, dikenal ada Sembilan orang wali. Mereka adalah orang-orang yang mendakwahkan Islam secara berkesinambungan. Dari kesembilan orang tersebut ada yang cukup familiar dalam suku Jawa. 

Ia adalah Sunan Kalijaga. Berbagai macam ajarannya hingga kini masih dilestarikan. Dari mulaisekatenan, gerebeg mulud, hingga konsep makrifatullah yang dikenal dengansangkan paran dan manunggaling kawula gusti. Do’a-do’a dalam bahasa Jawa yang ia rumuskan tetap diamalkan di beberapa daerah di Pulau Jawa. Diantaranya adalah kidung rumeksa ing wengi, kidung mantra weda, dan yang paling terkenal yakni kidung Lir Ilir. Sunan Kalijaga terlahir dari seorang Adipati. Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Masa kecilnya bernama Raden Syahid. Saat beliau lahir, kekuasaan Majapahit mulai surut. 

Sehingga ketika Tuban ditimpa kemarau panjang banyak rakyat yang kelaparan. Karena tak tahan melihat kondisi yang demikian maka Raden Syahid memilih menjadimaling cluring. Yakni membongkar gudang Kadipaten dan membagi-bagikan isinya kepada rakyat. Lama kelamaan perbuatannya ini diketahui ayahnya. Dan akhinya ia diusir dari Istana Kadipaten. Pengusiran itu tak membuat Raden Syahid jera. Ia malah melakukan perampokan dan pembegalan terhadap orang-orang kaya di Kadipaten Tuban. Hasilnya ia bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Suatu hari di hutan Jati Wangi bertemu dengan Sunan Bonang. 

Dan dari Sunan Bonanglah ia belajar islam serta mengajarkannya di tataran Pulau Jawa. Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga tergolong unik. Ia berhasil menggabungkan islam dengan ilmu Jawa. Menurut seorang petapa yang penulis temui di Dieng Batur, Sunan Kalijaga adalah orang yang berhasil menguasai ilmu Jawa. Mengingat Jawa adalah sebuah aliran ilmu tersendiri yang cukup rumit. Seperti Sunda. Bahkan Sunda termasuk salah satu aliran agama sebelum akhirnya diwarnai Islam. Sunan Kalijaga menggunakan media wayang untuk berdakwah. Ia berhasil mengubah cerita wayang yang tadinya berpesan tentang ajaran Ramayana dan Mahabrata dari India menjadi pagelaran apik yang berbicara tentang Tauhid. 

Coba cermati karakter yang terkandung dari tokoh-tokohnya. Ambil saja salah satu tokoh penting: Semar Badranaya. Yang luar biasa dari Sunan Kalijaga adalah, ia berhasil mengubah karakter Semar Badranaya menjadi tokoh pemberi nasihat. Bahkan Raja dan Dewa takluk pada tokoh yang satu ini. Tak hanya itu. Semar Badranaya pun penguasa Sawarga Maniloka. Ketika ada utusan yang ingin masuk ke Sawarga Maniloka yang dijaga ketat oleh para dewa, asalkan membawa semacam pesan dari Semar Badranaya, maka para dewa pasti tunduk patuh pada perintah itu. Tak ada yang berani membantah. 

Termasuk tokoh segagah Bima, Gatot kaca, Raden Pandu, tunduk dan patuh pada semar Badranaya. Jika diperhatikan, Sunan Kalijaga seakan meleburkan dirinya ke dalam karakter tokoh Semar Badranaya. Segala yang diucapkan oleh Semar sebetulnya berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits. 

Hanya saja, lantaran mengalami penetrasi budaya, istilah-istilah keislaman tak dengan vulgar ditampakan. Sunan sedemikian rupa berhasil meracik ajaran islam dengan ajaran Jawa. Salah satu contohnya yakni jimat kerajaan yang bernama Layang Jamus Kalimushada. Sebenarnya Layang Jamus Kalimusadaadalah dua kalimah syahadatain. Sunan tak langsung menyebut bahwa itu adalah kalimat syahadat. Beliau hanya menyampaikan makna filosofis yang terkandung dari kalimah syahadatain. Tentunya dalam konteks masyarakat Jawa. Atau kitab Sastra jendra Rahayu Ningrat. Misalkan dipelajari ternyata itu adalah Al Qur’an. Dan masih banyak istilah lain yang beliau racik dari ajaran islam dan ajaran Jawa. 

Sintesa 

Karyawan bank syariah bukan hanya sekedar karyawan. Juga bukan karyawan robotik yang bekerja karena ada perintah. Ia adalah karyawan yang bekerja karena bertumpu pada keridhaan ilahi. Niat bekerjanya boleh bermacam-macam. Mengisi waktu luang, mengikuti trend, mencari uang, ingin masuk surga, hingga mencari ridha Allah. Apa pun niatnya tak masalah. Niat itu tersembunyi dalam hati. Hanya Allah yang tahu. Dan setiap niat berbanding lurus dengan kadar pahala di sisi Allah swt. Yang penting ia harus menyadari bahwa dirinya adalah “Sumber Daya Insani”. “Al Insan” (manusia) dalam konsep islam diartikan sebagai khalifah Allah swt yang diberi tanggung Jawab dan amanah karena kekhususannya; dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, berilmu, berakal, dan berkemampuan. Ia pun memiliki potensi akal, rasio, hati, nafsu, jiwa, dan jasad. Sehingga karyawan bank syariah diharapkan bekerja dengan segenap potensinya. Menyadari bahwa dirinya adalah seorang khalifah. Mengelola bumi secara profesional dan mengajak manusia lain agar berlaku sesuai dengan yang sudah disyariatkan. 

Dalam sistem perusahaan modern, seorang karyawan harus bekerja secara costumer oriented, strife for excellence, competence, efficiency, transparency, fair competition,dan competitive. Pun demikian halnya dalam perbankan syariah. Konsep perbankan yang ada di Indonesia menganut sistem “islamisasi bank konvensional”. Segala sistem operasionalnya hampir seratus persen identik dengan bank konvensional. Yang berbeda hanyalah akad yang digunakan. Karena pada dasarnya halal atau haramnya segala sesuatu bertumpu pada akad. Selama sistem operasional day-to-dayperbankan yang ada tak bertentangan dengan konsep islam maka akan diadopsi sepenuhnya oleh bank syariah. Ini persis seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga. Berdakwah dengan pendekatan budaya. Kebiasaan setempat beliau biarkan dan racik dengan warna keislaman. 

Dalam konteks perbankan syariah, sistem operasional yang sudah bertahun-tahun diterapkan, seperti sistem kliring, pelayanan front liner, hubungan antara kantor cabang dengan kantor pusat, hubungan antara bank dengan bank lain, tetap diaplikasikan seperti bank pada umumnya. Yang membedakan hanya akad-akad pokok yang digunakan. Jika dahulu Sunan Kalijaga mengubah karakter Semar Badranaya menjadi sosok yang mampu mengalahkan dewa dan memberikan nasihat ajaran islam, maka sekarang bank syariah menyulap sistem bunga dengan sistem bagi hasil. 

Sementara perangkat-perangkat “wayang” lain tetap dibiarkan. Inilah yang penulis sebut sebagai “Da’I Sintetik”. Bank syariah dan karyawan bank syariah adalah seorang da’I yang berdakwah seperti Sunan Kalijaga. Menggunakan pendekatan kultural. Tidak mengubah sistem yang ada dengan sistem yang benar-benar baru. Hanya mengislamkannya. Islam adalah agama yang rahmatallil’aalamiin”.Tak lekang oleh zaman. Berlaku untuk segala dimensi ruang dan waktu. 

Dalam halnya seorang karyawan sebagai pribadi maka Da’I Sintetik akan menjadi seorang muslim yang profesional sebagai banker. Segala kriteria karyawan profesional yang telah digariskan untuk perusahaan modern akan ditaati dengan sempurna. Mengingat tak bertentangan dengan islam. Bahkan dalam beberapa bagian justru sangat sesuai dengan konsep karyawan sebagai “insan”. Begitu pun dalam halnya sistem Perbankan Syariah secara keseluruhan.

Jumat, 04 Januari 2013

Pustaka Perbankan Syariah

  1. ^ Rammal, H. G., Zurbruegg, R. (2007). Awareness of Islamic Banking Products Among Muslims: The Case of Australia. dalam Journal of Financial Services Marketing, 12(1), 65-74.
  2. ^ a b Saeed, Abdullah. (1996). Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, Netherlands: E.J.Brill.
  3. ^ Subhi Y. Labib (1969), Capitalism in Medieval Islam dalam The Journal of Economic History, 29 (1), hlm. 79-96 [81, 83, 85, 90, 93, 96].
  4. ^ a b c Syafi'i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 979-561-688-9.
  5. ^ http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0816.pdf Islamic Banks and Financial Stability: An Empirical Analysis, hlm. 5
  6. ^ Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century, dalam Imtiyazuddin Ahmad (ed.) Islamic Banking and Finance: The Concept, The Practice and The Challenge (Plainfield: The Islamic Society of North America, 1999).
  7. ^ "Sharia calling ", The Economist, 12 November 2009.
  8. ^ Slater, Joanna, "World's Assets Hit Record Value Of $140 Trillion ", The Wall Street Journal, 10 Januari 2007.
  9. ^ http://www.iran-daily.com/1388/12/11/MainPaper/3630/Page/5/Index.htm
  10. ^ Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance (London: Muslim Trust Company, 1980).

Senin, 10 Desember 2012

Perbankan Syariah

Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).

Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.

Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersialswasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.